Mendadak (C)PNS

Satu hingga dua minggu ini, kolom percakapan/interaksi saya di media sosial, khususnya whatsapp dan direct message instagram, bisa dibilang cukup ramai jika dibandingkan dengan minggu-minggu sebelumnya. Bukan hanya percakapan terkait dengan pekerjaan yang bisa dibilang cukup padat, melainkan juga beberapa pertanyaan senada yang dilontarkan oleh beberapa rekan saya dari berbagai lingkaran sejalan dengan dibukanya berbagai formasi CPNS tahun 2018 ini. Inti pertanyaannya adalah mengenai ‘Bagaimana tips dan trik-nya untuk bisa lolos seleksi CPNS?’

Heuheuheu… Sungguh pertanyaan yang berat sebelum pertanyaan ‘Man Rabbuka?’

Tampaknya, bakal jauh lebih mudah menjawab pertanyaan ‘Bagaimana tips dan trik-nya untuk mendapat nilai baik saat tes TOEFL ITP ataupun tes masuk perguruan tinggi negeri?’

Lha, bukannya sama saja?

Bagi saya, itu adalah dua atau tiga hal yang berbeda. Karena berdasarkan pengalaman saya, nilai baik saat tes TOEFL ITP maupun tes masuk perguruan tinggi hanya bisa diperoleh dengan usaha/belajar yang sungguh-sungguh serta tawakkal sepenuhnya kepada Yang Maha Kuasa. Sementara seleksi CPNS, tidak saya lewati dengan proses belajar yang sungguh-sungguh.

Detail ceritanya, saya memilih lokasi tes tahap pertama untuk seleksi CPNS, atau lebih dikenal dengan sebutan TKD (Tes Kemampuan Dasar) di Jakarta, karena lokasinya yang dekat dengan domisili saya pada saat itu, yaitu Kota Bandung. Sementara takdir berkata lain, saat jadwal TKD diumumkan, saya sedang melakukan survey lapangan se-Provinsi Sulawesi Selatan untuk pembuatan peta tematik rupabumi sebagai bagian dari paket pekerjaan saya di sebuah konsultan swasta. Boro-boro belajar, membuka situs/web untuk mempelajari kisi-kisi soal pun tak sempat, mengingat jadwal kegiatan survey lapangan yang sangat padat, dari pagi hari hingga tengah malam, begitu seterusnya, tanpa adanya hari libur, selama sebulan penuh.

Keraguan untuk berangkat TKD pun selalu menghantui, mengingat survey lapangan saya masih masuk minggu kedua bertepatan dengan jadwal TKD saya.

“Apakah saya harus tetap berangkat tes dengan melakukan perjalanan PP dari Makassar-Jakarta dalam waktu sehari?”

Pikiran saya bukan hanya soal ongkos yang lumayan berat, melainkan gambling yang sangat tinggi, karena persiapan saya bisa dibilang tidak ada sama sekali. Di sisi lain, perusahaan tempat saya bekerja sebenarnya tidak akan pernah memberikan ijin untuk hal tersebut. Artinya, hampir tidak ada harapan bagi saya untuk melakukan TKD pada saat itu.

Lalu, mengapa pada akhirnya berangkat dan mengambil tes tersebut?

Jawabannya, karena sebuah mantra yang menguatkan saya bahwa “Keberanian adalah do’a dari rasa takut”.

Saya memberanikan diri dengan berbagai resiko besar yang (mungkin) akan terjadi ke depannya. Entah saya akan dipecat dari perusahaan tempat saya bekerja saat itu, atau nilai yang buruk dari TKD, sehingga dua resiko tersebut menyebabkan saya pada akhirnya tidak mempunyai pekerjaan. Tidak banyak yang mendukung keputusan cepat saya kala itu, seiring dengan pemesanan tiket PP Makassar-Jakarta yang saya lakukan H-2 atau H-1 sebelum tes (saya lupa persisnya).

Sesampainya di Jakarta pun, saya harus meminjam beberapa perlengkapan TKD yang tidak saya siapkan sebelumnya (seperti atasan putih, bawahan hitam, sepatu pantofel hitam dan lainnya) kepada teman baik saya yang penuh dengan pikiran positifnya tentang kelulusan saya. Dialah Marindah Yulia Iswari.


Pertanyaan lain dari orang sekeliling saya pun bermunculan seketika mengetahui keputusan nekat saya tersebut.

Kenapa sebegitu besarnya pengen jadi PNS sih? Emang, apa hebatnya jadi PNS? Kerjanya cuma datang absen, yout*b-an, pelayanan gak bener, pulang teng-go, mau jadi apa kamu?

Mantra lain yang menguatkan saya adalah “Niatmu yang akan menjagamu”.

Saya tidak pernah bermimpi, bahkan bercita-cita menjadi PNS sekalipun. Lingkungan sekitar saya selalu mengarahkan saya untuk dapat berkembang di dunia swasta, wiraswasta maupun NGO (Non-Governmental Organization). Apalagi jika sudut pandangnya adalah realita, katakanlah dari nominal gaji yang diterima seorang lulusan Kartografi Penginderaan Jauh seperti saya, bisa dibilang jauh menggiurkan dibandingkan ketika menjadi PNS.

Kesannya, kalau jadi PNS itu kurang bergengsi dan nggak bakal berkembang dalam sistem yang seperti itu-itu saja.  Ditambah, sedari kecil saya sering mendengar Ibu saya bercerita berulang kali bahwa beliau pernah menolak menjadi PNS di saat semua lulusan IKIP saat orde lama, jelas akan menjadi PNS.

Lengkap sudah alasan untuk tidak menjadi PNS, apalagi harus mendaftar dan mengikuti seleksi CPNS. Sementara, sisi lain diri saya mengatakan untuk tetap mencobanya sebagai tantangan. Diterima atau tidaknya, urusan ke sekian.

Nah, terkait dengan niat saya tentang pekerjaan, dari sejak lulus kuliah, saya selalu men-state pada diri saya melalui mantra yang pernah disampaikan Buya Hamka, “Kalau hidup sekedar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekedar bekerja, kera juga bekerja.”

Intinya, kerja apa pun di mana pun, tetaplah menjadi manfaat. Rejeki, hingga berkahnya adalah bonus. 🙂


Terakhir yang tidak kalah penting, adalah tetaplah berjuang dan berusaha keras, baik tentang meluruskan niat serta merawat cita-cita hidup.

Salah satu mantra pamungkas dari seorang Ketua Yayasan Indonesia Mengajar yang selalu saya ingat adalah “Kalau lecet-lecetmu masih terasa perih, mungkin cita-citamu kurang besar”.

Selamat malam. Semoga sukses dengan segala yang kalian citakan.


Catatan tambahan:

Khawatir boleh, tapi silahkan kelola dengan baik.

INGAT ! Seperti yang pernah saya sampaikan melalui tulisan pertama saya di tahun ini, kita semua hidup untuk pertama kalinya di dunia ini, wajar jika harus gagal, salah dan kalah.

1 thoughts on “Mendadak (C)PNS

  1. Ping-balik: Agar Tak Sekedar (C)PNS | Rif'at DIB

Tinggalkan komentar