PB2M; Pemburu Biji Bunga Matahari

“Makan kwaci (baca: biji Bunga Matahari) itu gak efektif,” celetuk Bu Wei, salah satu tokoh elit dalam jajaran tamu istimewa di Kerajaan Barajamusti.

“… Klik.. Nyam.. Nyam.. Klik.. Nyam.. Nyam..,” lima punggawa kerajaan, Wisnu, Rif’at, Edo, Black dan Anti, masih tetap mengunyah kwaci layaknya hamster kegirangan. Tak mempedulikan komentar Bu Wei sedikitpun. Bahkan tak membalas dengan komentar lain.

“Coba lihat, kwacinya harus dibuka satu-satu. Hasilnya, sedikit itu. Buang-buang waktu lah,” lanjut Bu Wei tetap meyakinkan punggawa kerajaan, sebagai konsumen Biji Bunga Matahari yang sudah terlihat seperti pecandu.

***

Sebulan ini Kerajaan Barajamusti sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan pelatihan dengan berbagai amunisi untuk Panglima Perang yang berjumlah 16 orang. Punggawa kerajaan harus siap sedia –stand by hampir 23 jam 19 menit 27 detik. Karenanya, jangan heran jika mereka kadang-kadang senewen, kadang-kadang tidur tak beralaskan apapun, atau bahkan kadang-kadang tertawa sendiri. 😂

Biji Bunga Matahari Fenomenal. Sumber: Koleksi Pribadi, 2016.


Dalang sesungguhnya di balik kwaci yang seolah tak pernah habis adalah Pak Theo, pengawal pribadi Raja, yang ketampanannya dikenal seantero Negeri Barajamusti. Stok kwaci akan terus menerus dipasok selama satu bulan pelatihan. Terhitung sudah lebih dari 2 kantong habis dalam waktu dua pekan, yang jika ditotal jumlahnya mencapai 40.653 butir, atau bahkan lebih.

Kecepatan menghabiskan kwaci-kwaci tersebut cukup mengherankan bagi kalangan bangsawan di Kerajaan Barajamusti. Hingga suatu ketika, akhirnya Sang Raja pun turut serta mencicipi nikmatnya membuka dan makan kwaci-kwaci tersebut.

Para punggawa kerajaan kebingungan. Bukan karena mereka takut kehabisan stok kwaci mereka, melainkan mereka khawatir jika Sang Raja ketagihan dan menjadi kecanduan seperti mereka.

Prediksi para punggawa kerajaan benar. Sang Raja menyodorkan uang kepada Black untuk membeli dan mengisi ulang stock kwaci selama pelatihan. Girangnya bukan main.

Semenjak Sang Raja menyukai kwaci, berturut-turut para bangsawan juga melakukan diskusi dan rapat dengan suguhan kwaci. Hangatnya suasana membuat ide-ide cemerlang semakin banyak bermunculan. Salah satunya, berkah dari kwaci, Biji Bunga Matahari.

SEKIAN.

***

Catatan:

Mohon maaf jika ada kesamaan nama tokoh dan alih fungsi peran, karena sesungguhnya penulis hanyalah manusia biasa, letaknya salah dan khilaf. Semoga tidak ada yang tersinggung karena cuplikan dari kisah nyata ini hanya bersifat hiburan semata. 😄

Jodoh yang Tertukar

img_0314

Bunga Kertas Merah Muda – SMP Semi Palar, Bandung, Jawa Barat. Sumber: Koleksi Pribadi, 2016.

Hidup glamor dengan segala tuntutan sebagai salah satu putri mahkota pertama, membuat Gayatri muak. Peraturan kerajaan senantiasa mengarahkan hidupnya menjadi A. Tak banyak yang bisa dia lakukan, bahkan untuk mengubah A menjadi A minus.

Bisa dihitung jari, masa-masa bahagia dalam hidupnya selama dua puluh tiga tahun ini. Entah mengapa, dia merasa bahwa Ratu, yang juga Ibunya, tak pernah berpihak padanya. Termasuk urusan mencari pasangan hidupnya kali ini. Begitu pula Ayahnya, Sang Raja, lebih banyak ikut serta dengan pendapat Sang Ratu.

Kakak pertamanya, Sang Putra Mahkota, sangat sibuk dengan urusan kerajaan dan lebih sering pergi ke luar kota. Gayatri seringkali merindukan masa kecilnya bersama kakak pertamanya, yang senantiasa penuh dengan lelucon dan terkadang mengeluarkan syair-syair bijaknya. Sekarang sosok itu terasa amat jauh, secara fisik maupun batin, dari kehidupannya. Terutama ketika kakak pertamanya telah menikah dengan putri tunggal, pewaris tahta satu-satunya, dari kerajaaan seberang.

Kakak keduanya, adik Sang Putra Mahkota, penuh dengan segala ambisi, berkeinginan menggapai kedudukan tertinggi di kerajaan, hampir tak pernah memperdulikan kondisi Gayatri dan adiknya. Kecerdasan dan ketampanannya mampu menyihir wanita manapun. Tapi bagi Gayatri, kakak keduanya adalah sosok paling mengerikan di antara mereka, 4 bersaudara. Hampir tak pernah, dia menemukan kakak keduanya tersenyum tulus dan tertawa lepas.

Adiknya, yang juga putri bungsu di kerajaan ini, hidup dengan sangat menyenangkan. Layaknya Princess di dongeng-dongeng, dia hanya mendatangi pesta dan bermain-main bersama kawan-kawan konglomeratnya. Tak pernah sedikitpun mencari tau kondisi per-politik-an kerajaan.

Tak ada satupun yang dapat menjadi kawan terbaiknya di lingkungan kerajaan, selain Chef Norma, Kepala Dapur Kerajaan yang usianya dua kali lipat lebih dari usia Gayatri. Wanita tegas di hadapan koki-koki kerajaan itu, hampir tak pernah absen berbincang dengan Gayatri tiap harinya. Atap dari gudang penyimpanan makanan adalah tempat favorit mereka berdua saling berkisah, sambil menikmati setangkup roti hangat dan teh bunga lotus.

Kali ini, Gayatri sangat bimbang dan mendadak ingin kabur selamanya dari istana. Ratu memerintahkan dia bertemu dengan pangeran dari Negeri Balagan, sebagai pendekatan awal menuju pelaminan.

Tak peduli berapa kali Gayatri mengatakan tak sepakat dan berbagai alasan. Ratu tetap tegas mengatakan, “Kenapa tidak jika ada kesempatan?”

👣👣👣

Negeri Balagan sangat kaya raya dengan hutan dan batu bara-nya. Beruntungnya, pangeran di negeri tersebut adalah pewaris satu-satunya. Pangeran Sewana, begitu dia dikenal dalam tataran perbincangan-perjodohan konglomerat berbagai negara. Sejauh yang Gayatri tau dari rekannya, Pangeran Sewana hidup dengan kemewahan selama hampir 27 tahun, membuatnya berada pada posisi nyaman dan bergantung dengan apapun keputusan Ibunya.

Gayatri putus asa, dia tak punya pilihan lain. Bahkan Chef Norma yang biasanya membela dia, kali ini mengatakan hal yang tak ingin didengarnya. “Coba dulu, apa salahnya bertemu, Tuan Putri?”

Kurang dari 3 jam sebelum pertemuan dengan Pangeran Sewana, Gayatri (baca: Putri Gayatri) sudah siap sedia dengan gaun megah dan make up yang elegan. Bukan karena keinginannya, melainkan usaha kaburnya keluar istana telah diketahui oleh seluruh penjaga istana yang diperintahkan oleh Ratu. Dayang istana pun siap siaga di kamarnya. Seluruhnya sudah sangat dipersiapkan tanpa celah.

Gayatri menyesal kembali. Dia merasa kalah strategi dengan Ibunya kali ini. Padahal dalam urusan lain, biasanya dia sanggup mengelabui siapapun yang diperintahkan oleh Ibunya.

👣👣👣

“Selamat sore, Tuan Putri Gayatri yang jelita,” ujar Pangeran Sewana pertama kalinya kepada Gayatri. Diucapkan dengan lembut dan senyuman manis di ujungnya.

“Hmmm.. Cukup tampan, namun mana tau aku dengan isi hatinya,” ujar Gayatri dalam hati. Gayatri tidak membalas salam pangeran dan hanya tersenyum singkat.

“Tuan Putri, tampaknya kita perlu jalan-jalan sambil berbincang, jika …”

“Boleh,” potong Gayatri atas pernyataan ataupun pertanyaan Pangeran Sewana yang bahkan belum tuntas.

Ada seorang yang mengalihkan perhatian Gayatri. Pengawal pribadi Pangeran Sewana tampak tak asing baginya, seperti sosok yang sangat dekat dengannya hampir delapan tahun yang lalu. Janji. Nama yang sangat hangat di ingatan Gayatri, yang membawa kehidupan bahagia bagi Gayatri.

Mengenal Janji delapan tahun yang lalu adalah suatu kebetulan yang tak disangka ketika Gayatri kabur dari istana ke sekian kalinya untuk menghirup udara segar, sekedar melihat masyarakat di negerinya dengan leluasa dan tentunya berkunjung ke rumah makan kawan akrabnya, Rosela.

Kala itu, Gayatri menunggu 1 jam lebih di Rumah Makan Setia, milik Rosela, yang mana empunya tak kunjung datang. Pegawainya mengatakan bahwa Rosela pergi mengunjungi rumah makan bibinya di tepian kota, yang seharusnya tak butuh waktu lama karena jaraknya yang dekat.

Selama proses penantiannya terhadap Rosela, Gayatri diam-diam memperhatikan banyak hal yang umum terjadi di rumah makan itu. Salah satunya, ketika tiba-tiba seorang pemuda yang kiranya 1 hingga 2 tahun lebih tua darinya, masuk ke dalam Rumah Makan Setia sambil membawa satu buah buku sketsa bersampul kulit dan beberapa pensil gambar.

Awal pertemuannya dengan Janji. Berikutnya, perkenalannya dengan Janji adalah cerita yang cukup membuat malu Gayatri. Beberapa saat setelah Janji tiba di rumah makan tersebut dan memesan menu makanan, dia menemukan Gayatri yang duduk sendirian dengan segelas es limun. Janji dengan santainya meminta tolong kepada Gayatri sebagai model pembawa makanan khas negeri itu, yang berikutnya akan menjadi bagian dari koleksi sketsa dan bahan lukisan Janji.

Betapa tidak, lebih dari setengah jam, Gayatri harus menunjukkan wajah bahagia dengan memegang piring berisi roti-roti beraneka ragam dengan aroma kayu manis. Meskipun dia hanya duduk di depan Janji, hal tersebut cukup memalukan bagi Gayatri dan -entahlah, mengapa rasanya bercampur aduk.

Selesai dari pekerjaan itu, barulah Janji memperkenalkan diri kepada Gayatri. Begitu pula Gayatri memperkenalkan dirinya sebagai Nona Ira, nama depannya yang selalu dia gunakan ketika menyamar menjadi rakyat biasa saat keluar istana.

.

to be continued

👣👣👣

Kisah Gayatri, Sewana dan Janji selengkapnya ada di naskah yang sedang diolah di balik layar. Saya akan sangat senang jika ada kritikan, masukan dan saran, agar kisah ini lebih hidup dan memberikan makna yang segar untuk kehidupan di era ini.

☕️☕️☕️

Semoga pembaca senantiasa dipertemukan dengan jodoh positifnya.

😄😄😄

VERB

IMG_3000

Menjaga. Dijaga.

Mendengar. Didengar.

Kali ini murid kelas 4 SD Lanai belajar mengenai kata kerja aktif dan kata kerja pasif. Tak ku sangka bahwa dari pelajaran Bahasa Indonesia, tiba-tiba terungkap hal mengejutkan dari salah seorang muridku. Bukan berdasarkan soal yang rumit sebenarnya. Sederhana, seperti halnya, es krim yang meleleh begitu saja ketika berada di dalam mulut.

“Bu, kenapa yaa.. raja atau presiden itu dijaga banyak pengawal? Bukannya, raja atau presiden itu harusnya menjaga rakyat atau orang-orang di bawahnya?” Aku terdiam.

Lalu, aku teringat tentang pertanyaan seorang kawan pengajar muda di saat pelatihan fisik sebelum penempatan.

“Bukankah pemimpin itu lebih baik banyak mendengar dibandingkan harus melulu (red: terus menerus) minta didengar?” Aku terdiam sejenak.

Berikutnya, aku memahami bahwa dua pertanyaan tersebut tak jauh berbeda. Sadar bahwa tidak semua kata kerja pasif menunjukkan hal yang pasif. Sebaliknya, kata kerja aktif tak sepenuhnya menunjukkan kegiatan optimal yang masif.