Tidak (Harus) Bahagia

“Apa kabar? Kamu bahagia?”

Setelah flashback beberapa kali, ternyata jawaban yang sering ku lontarkan atas pertanyaan sejenis itu lebih banyak menipu dari pada jawaban atas perasaan sebenarnya. Pasalnya, aku tak ingin orang lain tau soal ke-tak-bahagiaan-ku. Atau sekedar malas menjawab karena tahu si Penanya sebenarnya hanya basa-basi agar ada obrolan menyenangkan di awal perbincangan.

Siapa sih manusia lain yang sejujurnya mau mendengarkan cerita sedih atau kisah menyakitkan orang lain? Tentu tak banyak. Hanya orang-orang tulus yang benar-benar ingin mendengarkan apa yang terjadi pada diri kita, bukan sekedar mendengar saja.

——

Suatu ketika, tak lama setelah kematian Bapakku pun, ada seorang yang nyeletuk, “Kok kamu bisa tegar, gak nangis tersedu-sedu gitu pas Bapakmu meninggal?”

Di lain kesempatan, seorang yang ku percaya berkomentar dengan pelan, “Ini pertama kalinya saya lihat kamu nangis lo. Karena sehari-hari kamu kelihatannya ceria dan supel.”

Sesungguhnya ada yang agaknya kurang pas dari percakapan-percakapan itu. Banyak yang mengira senyum dan keceriaan di wajah itu selalu berbanding lurus dengan kebahagiaan, begitu pula sebaliknya wajah yang muram dan datar berkaitan dengan perasaan tak menyenangkan lainnya. Padahal, dunia yang kita tempati ini tak sesederhana itu, begitu pun dengan manusia dan segala karakternya.

——

Sementara itu, banyak yang sering menggaung-gaungkan, “Setiap manusia berhak bahagia. Karena itu bahagia tidaknya, kita yang usahakan.”

Seolah-olah bahagia itu wajib dimiliki, meskipun yang digunakan pada kalimat di atas adalah kata hak. Tidak bahagia, berarti ada yang salah dalam hidupnya. Tidak bahagia, berarti ada yang nggak pas sama jiwanya. Tidak bahagia, berarti terlalu banyak hal-hal negatif yang menutupi diri. Benarkah?

Bukankah berat jika harus pura-pura bahagia ketika sedang bersedih? Bukankah tak menyenangkan jika harus tertawa ketika diliputi amarah? Bukankah sulit untuk tersenyum ketika sedang gundah gulana?

Seperti baru-baru ini, aku mengalami pertentangan bathin karena melakukan sesuatu yang tak sesuai dengan nurani. Sayangnya aku tak bisa berbuat apa-apa karena tak punya kuasa sama sekali. Benar, aku hanya sebagai tukang yang hanya bisa mengatakan “Siap” jika diperintahkan, tanpa bisa menentang sama sekali. Aku melakukan pekerjaan itu dengan hati yang penuh dengan emosi gelisah dan rasa tercekat.

Bukan sekali ini sebenarnya kejadian sejenis itu ku alami, sejak menjadi bagian dari abdi dalem. Anehnya, aku menangis setiap menjalani hal itu, sebagai bentuk dari mimpi buruk soal dosa jariyah yang berdampak pada banyak pihak ketidakberdayaanku. Rasa bersalah yang menyelimuti bathinku sebenarnya tak perlu ku dramatisir seperti yang dinasehatkan oleh beberapa orang sekitarku, “Dahlah, yang bertanggungjawab di akhirat kelak toh juga para pemimpin-pemimpin itu.”

Maka, haruskah aku tetap menunjukkan muka bahagia? Ya, tentu saja. Cerminan pelayan publik sayangnya harus pandai mengelola emosi, terutama setelahnya dituntut untuk tampil di layar kaca. Tak kan ada yang peduli pada segala jenis emosi atau semarah apapun diriku pada kebijakan, keputusan atau arahan yang amburadul sekalipun di dalamnya. Penonton lagi-lagi hanya melihat sebagai bagian dari pelayan publik.

——

Andai jenis perasaan dan emosi itu dijabarkan detail, tentu tidak hanya melulu soal bahagia. Sedih, bimbang, tiada rasa, kagum, sesal, marah, malu, bergairah, penasaran, khawatir, dan jenis emosi lainnya pun sama berharganya dengan bahagia. Tak ada yang setingkat lebih tinggi ataupun lebih rendah bukan? Atau memang ada manual book yang memberikan ranking atas jenis perasaan itu?

Di sisi lain, hidup sebagai orang dewasa ternyata benar-benar tak mudah. Ada otak yang mengatur berbagai jenis emosi agar yang tampak di muka berbeda dengan yang ada di hati. Hingga sampai pada ujung sebuah kesimpulan bahwa apapun emosi yang dirasakan, mau tidak mau kudu bahagia. Yang penting bahagia, cukup. Haruskah begitu?

3/7 Potong Kue

Aku punya sepotong kue yang rasanya enak. Tak terlalu manis dan juga tak terlalu asin. Pun ada rasa renyah yang tak terlukiskan. Aromanya harum, seperti campuran kopi dan karamel hangat. Kue itu ku potong menjadi tujuh bagian. Hanya saja, aku baru sanggup menikmati 3 dari 7 potong itu. Jika kalian ingin tahu lebih soal rasa, aroma dan apa saja isinya, silahkan baca kisah 3/7 potong kue di bawah ini. Selamat menikmati. 🙂

IMG_6012

Imajnasi untuk tiga dari tujuh potong. Semoga terbayang lezatnya, meski tak sama. Sumber: Koleksi Pribadi, 2017.


“Kamu punya baju cokelat itu banyak ya? Atau kamu emang selalu pakai baju itu sejak dulu?” celetuk seorang kawan jauh yang mengunjungiku setelah sekian lama.

“Bajumu kok nggak pernah ganti sih. Itu mulu dari tiga tahun lalu,” komentar teman dalam sebuah grup media sosial yang menampilkan foto terbaruku.

“Kayak kenal kaos-nya, Bu. Bukannya itu udah dari tahun kedua kita kuliah bareng?” ujar seorang rekan di kolom komentar pada foto profil salah satu media sosialku.

Setelah dipikir-pikir, ternyata banyak juga orang yang benar-benar memperhatikan gerak-gerikku, termasuk pakaianku ya? Padahal aku sendiri sudah lupa, kapan terakhir aku pergi ke toko baju. Aku hanya ingat, kapan terakhir kali mengunjungi toko buku.

Sebegitu pentingkah penampilan luar ini, dibandingkan apa yang terus menerus kita perbaiki dalam diri? Hmmm.. mungkin ini bukan era yang tepat sebagai tempat tinggal manusia sepertiku, atau sebaiknya aku harus menyesuaikan diri dengan kaca mata orang lain? 🙂


“Ditolak lagi? Hmm.. wajar sih sebenernya. Dia kan super tampan. Ngaca dikit lah kamu siapa. Hehe..”

“Kamu ih, kenapa di-sia-sia-in kesempatan emas kayak gitu. Jarang-jarang ada pemuda mapan ngedeketin kamu loo.”

“Masa’? Keliatannya kan alim. Mana mungkin berani gitu.. Jangan ngawur lah.”

Well, mungkin pandanganku terlalu luas dan menelisik. Sampai-sampai tampan, mapan dan alim pun menjadi mentah. Bukan tanpa alasan, melainkan buat apa harus diperjuangkan jika itu hanya yang terlihat di luarnya? Aku hanya mencari jenis, yang disebut dengan kepastian dan kesetiaan. Namun sayangnya, kata banyak orang, itu bisa menyusul kemudian.

Ah, bahagiaku, bahagiamu dan bahagia kita kan berbeda. Apa perlu menyamakan lidah, untuk menyesuaikan cita rasa dan selera? 🙂


“Ya mending kerja di tempat yang namanya udah beken lah. Mau jadi direktur kalo perusahaannya gak terkenal buat apa. Nggak bakal dilirik..”

“Gaji segitu banyaknya buat apa? Kok habis terus? Ntar aja jiwa sosialnya tuh, kalo udah settle. Kapan nikahnya coba kalo duit nggak pernah ditabung?”

“Ini namanya masa muda, Cuy. Dinikmatin aja. Ngapain harus belajar serius-serius sih, apalagi harus sekolah lagi?”

Hahahahahahahahahahahahahahahahahahaha… selamat datang di usia dua puluh lima.

Ironi hidup yang mau tidak mau, suka tidak suka harus dipilih. Mau yang beraroma khas pribadi atau masyarakat pada umumnya? Rata-rata, minyak wangi aroma vanilla dipakai banyak wanita karena disukai banyak pria. Sebagian kecilnya, memilih aroma cengkeh, mint, atau melati untuk menenangkan diri. Kira-kira, sebaiknya pilih yang terjangkau harganya atau yang jelas khasiatnya ya? Dan, pada akhirnya tetap harus memilih ya? 🙂


Soal potongan lain dari kue-nya, semoga bisa tersampaikan di lain waktu ya. Terimakasih sudah mau mencicipnya bersama-sama. 🙂

#NulisRandom2017

Selamat!

Ada yang harus merangkak, tertatih, perlahan-lahan bersama kesetiaan dan kesabaran.

Ada yang melaju dan mengayuh sekuat tenaga, dengan kepercayaan diri paripurna.

Ada yang tak perlu melangkahkan kaki dari sarangnya, dan seketika sendok emas dengan ramah menyambutnya.

Ada yang bahkan memikirkan itu semua pun tidak. Berjalan mantap, tak menoleh, asalkan tujuan sampai.

Alengka, 28042017


Gambaran Kehidupan Dunia. Sumber: Koleksi Pribadi, 2017.


SELAMAT !

Bisa jadi satu diantara itu semua adalah aku, kamu, dia atau kalian. Meskipun mungkin aku dan kamu, aku dan dia, bisa jadi berbeda, sehingga tak harus menghasilkan kita. 🙂🙃


Selamat Hari Puisi Nasional 2017.

Tetaplah bergerak tuk menyalakan jiwa, menghidupkan nyawa, tanpa harus mempermainkan rasa. 😉

Rasa yang Pernah Ada

Di antara ratusan makanan tradisional yang sudah pernah saya rasakan, makanan tradisional ini adalah juaranya. Tak tertandingi dan hanya bisa ditemukan di satu tempat. Depan klenteng setelah jembatan sungai kecil samping Gang Hang Tuah. Tepat di tengah kota Sidoarjo, berada di pertigaan sebelum Pasar Ikan Sidoarjo.

Bangunan tempat pembuatan kue ini sangat sederhana dan tak menunjukkan kemewahan. Tapi jangan tanya soal cara mendapatkannya. Kalau kalian tidak datang lebih awal (baca: shubuh), maka jangan harap kalian akan dapat mencicipi secuil rasanya. Antreannya selalu ramai. Padahal yang dijual hanya satu jenis kue, tidak yang lain.

Yang paling ‘kurang ajar’ soal tempat produksi kue ini adalah, tanpa adanya banner ataupun iklan di berbagai media online, aroma panggangan kue ini siap meracuni siapapun yang lewat, mencolek-colek agar mendekat dan mencicip rasanya. Pantas saja, tak peduli tua muda, laki-laki atau perempuan, menikah atau masih jomblo (*eh), semua ingin mencicip rasanya. 

Dokumentasi Pribadi, 2017

 

Kue tradisional yang begitu amazing ini bernama kue lumpur. Bukan karena kejadian lumpur Lapindo Brantans Inc. yang menyembur delapan tahun lalu, lantas kue ini muncul dan booming. Justru kue ini sudah ada bertahun-tahun sebelumnya.

Asal muasal nama kue ini pun bisa jadi karena teksturnya yang khas seperti lumpur. Tidak begitu kering di luar, namun meleleh di dalam seperti ketika kita menginjak lumpur di sawah. Beruntung warna kue ini tidak sama seperti lumpur yang asli.


Kue lumpur di tempat yang saya ceritakan di atas, memang tiada tandingannya (bukan bermaksud promosi, karena memang sudah banyak yang mengakui). Saya pernah mencicip kue lumpur yang diproduksi di tempat lain, ternyata rasanya malah seperti kue gandum atau apalah itu sebutannya. Jadi saya belum pernah menemukan rasa yang sama dengan kue buatan di tempat tersebut.

Ah, tapi saya pernah menemukan sejenis kue ini saat berbuka puasa di Kalimantan Selatan, kalau tidak salah namanya Kue Kentang. Hanya saja ukurannya lebih besar dan berbentuk seperti bunga. Rasanya hampir sama, manisnya pas. Sayang, saya tidak sempat mendokumentasikannya karena terlalu lapar setelah berjalan-jalan seharian, ditambah harus segera menaiki bus menuju perjalanan pulang.


Oya, agar kalian tidak penasaran soal visualisasi rasa dan kenikmatan kue lumpur ini, saya akan coba deskripsikan. Rasa yang dimiliki kue ini tidak terlalu manis dan ada rasa gurih yang menggoda. Bagi saya makanan ini hebat, sanggup membuat saya ketagihan, yang sungguh sebenarnya saya bukan penggemar makanan manis. Gurih istimewa yang dimiliki kue ini berasal dari hasil pembakaran, yang kalau bisa dilihat ada warna emas kecoklatan di sekeliling kue itulah penyebabnya. 😋

Keistimewaan lainnya, tekstur becek –lumer yang tak terlihat kasat mata ini bisa dirasakan ketika kita mengginggit untuk pertama kalinya. Berikutnya, sentuhan lembutnya benar-benar mengajak lidah kalian untuk menambah gigitan demi gigitan. Kalau bisa dijadikan persamaan tekstur, kue ini mirip dengan klaper tart, hanya saja dia tak berisi kelapa.

Satu buah kue lumpur ini, berukuran sebesar lingkaran tutup gelas, seperti ukuran kue apem. Anehnya, memakan satu buah kue ini tidak akan bikin eneg dan mengenyangkan. Kalau kalian seandainya makan dalam kondisi lapar, makan 5-6 buah kue ini baru akan terasa penuh. Bagi yang ingin mencicip rasanya, satu buah rasanya kurang nendang, hanya kalau tiga buah rasanya berlebihan. 😬

Terakhir, saya lupa menyampaikan. Jangan terlalu heran dengan tampilan luarnya yang kurang meyakinkan, atau bahkan tidak meyakinkan bagi beberapa orang. Seperti kata banyak orang bijak katakan, “Tidak semua yang berkilau itu adalah emas.” Begitu pula dengan ini, jangan sepelekan penampilannya, tapi sejauh mana rasanya bisa membekas di ingatan dan mampu membuat hari kalian bahagia. Atau barangkali suatu saat kalian akan merindukannya. 😉

Selamat menikmati akhir pekan. Maju terus kuliner nusantara. 💪🏼 **ala-ala Pak Bondan 😂

Algoritma No.7: Keyakinan Rasa

Simpan saja Malu ku di hatimu. Jang sampai lepas.

Kalau urusan Malu mu, aku tak tahu.

 

Ada apa memang dengan Malu ku?

Mana ku tahu, kalau kau begitu peduli soal Malu ku.

 

Aku benci akan bayang-bayang Malu ku.

Kau apalagi.

 

Ah, abaikan semua. Bagi mu, Malu mu. Bagi ku Malu ku.

— Alengka, 02032017

algoritma-no-7

Lirik Lagu Some Type of Love — terkait dengan sajak. Sumber: Koleksi Pribadi, 2017.

Algoritma N0. 6: Permen Kunyah

Asam berbulir dibalut dominan manisnya karamel menggelayut di lidah dan kerongkongan.

Sayang rasanya, jika harus dikunyah..

Pahitnya kopi hitam melebur-mengikat gurihnya krimer pun paripurna menggoda.

Sayang rasanya, jika harus dikunyah..

Mint segar tak mau beranjak dari sekedar menyegarkan rongga mulut, terpaksa cokelat pun meledakkan diri.

Sayang rasanya, jika harus dikunyah..

Status permen kunyah digadaikan.

Di-emut menyenangkan, tak menjanjikan.

Lebur tergerus masa; tergantikan karena tiada.

— Alengka, 12022017

algoritma-no-6

Lirik Lagu Just a Friend to You — terkait dengan sajak di atas. Sumber: Koleksi Pribadi, 2017.